
Pengacara Yayasan Pelayanan Kematian Orang Tionghoa (YPKOT) Sungai Kunyit, Ridho Fathat Khan mengatakan tudingan Pelindo perihal penyebab tak kunjung dibayarkannya ganti rugi lahan tak berdasar. Pasalnya, semua yang disebutkan sudah selesai dan didukung aturan perundangan. Sebagaimana diketahui, lahan pemakaman YPKOT di Sungai Kunyit, Mempawah, terdampak pembangunan Pelabuhan Internasional Kijing.
Dia menjelaskan, tak ada dualisme dalam pengurusan YPKOT. Hal itu merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Yayasan, dan melihat peristiwa hukum lahan tersebut. Karena ada dua yayasan dengan legalitas yang sah dan berbeda, dengan pengurus masing-masing, maksud tujuan masing-masing, dan objek yang berbeda.
Perkara itu sudah diperjelas dalam pertemuan di Kejaksaan Tinggi Kalbar, 14 Maret 2019. Dua yayasan di lahan itu—YPKOT dan Yayasan Bhakti Baru Sungai Kunyit—memiliki akta pendirian dan objek yayasan masing-masing. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Mempawah pun sudah memvalidasi daftar nominal (danom) masing-masing yayasan menjadi tiga bidang tanah.
Perkara itu sudah diperjelas dalam pertemuan di Kejaksaan Tinggi Kalbar, 14 Maret 2019. Dua yayasan di lahan itu—YPKOT dan Yayasan Bhakti Baru Sungai Kunyit—memiliki akta pendirian dan objek yayasan masing-masing. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Mempawah pun sudah memvalidasi daftar nominal (danom) masing-masing yayasan menjadi tiga bidang tanah.

“Jadi dapat saya katakan tidak ada dualisme di sini, seperti yang dikatakan oleh Deputi GM Hukum dan Pengendalian Internal Pelindo, terlebih kita lihat di dalam akta pendirian yayasan masing-masing, dalam pasal maksud dan tujuan pendirian yayasan, telah jelas dan tegas disebutkan setiap akta pendirian yayasan tersebut harus sejalan dengan kegiatan yayasan yang didirikan,” jelasnya.
Apalagi, dalam pasal 37A, disebut kegiatan yayasan harus berlangsung lebih lima tahun berturut-turut. YPKOT sudah berdiri sejak 43 tahun lalu dan belum pernah dibubarkan. Sedangkan Yayasan Bhakti Baru Sungai Kunyit, akta pendiriannya tahun 2014 dan belum memiliki pemakaman di atasnya.
Lantaran merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN), aturan pemindahan lahan sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Penggunaan Tanah Untuk Keperluan Tempat Pemakaman. Hal itu sudah dilakukan bersama pemerintah dan pihak terkait berdasarkan rencana tata kota, kajian teknis, gambaran umum, dan tinjauan lapangan dari dinas terkait.
“Jika ahli waris makam menentukan lokasi relokasi makam di luar yang disediakan oleh yayasan, dapat dibuatkan surat perjanjian atau pertanggungjawaban secara tertulis dari masing-masing ahli waris makam sebagai bentuk tanggung jawab dan jaminan penuh akan pemindahan lokasinya,” katanya.
Hal ini tentu dengan dokumentasi lengkap. Untuk teknis pembayaran pemindahan makam-makam, ahli waris dikemudian hari akan dibuatkan perjanjian atau pernyataan sebagai jaminan yang tidak lepas dari hak dan tanggung jawab masing-masing ahli waris makam.
Di sisi lain, pemerintah telah menginstruksikan percepatan penyelesaian masalah dan hambatan dalam pelaksanaan PSN. Misalnya lewat Inpres Nomor 1 Tahun 2016 dan Perpres Nomor 3 Tahun 2016. Pihak yayasan dan stakeholder terkait pun sudah membuat pernyataan bersama tertanggal 14 Maret 2019 disaksikan Kepala Kejaksaan Tinggi Kalbar, Baginda Polin Lumban Gaol.
“Jika kita mengacu dan mengedepankan pada semua peraturan perundang-undangan yang berlaku di atas, maka kita dapat dengan cepat menyelesaikan permasalahan ini dengan baik dan dapat mengesampingkan kepentingan-kepentingan golongan atau diskriminasi yang dapat menghambat Proyek Strategis Nasional itu sendiri ini,” katanya.
Sementara perihal Surat Keterangan Tanah (SKT), kekuatannya, lebih kepada penguasaan fisik tanah sebagai dasar untuk mendapatkan hak milik. Sebagaimana tercantum dalam pasal 19 UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Bahwa untuk mendapat kepastian hukum bagi pemilik sertifikat, namun sertifikat bukan berarti sebagai pemilik atas sebidang tanah, selama tidak ada pihak lain yang membuktikan keabsahannya. Dalam hal ini, BPN sudah menggaransi dalam bentuk validasi nomor A1.02/61.02V/2019 perihal Revisi Validasi VI terhadap Danom 79, 165 dan 166 yang ditujukan kepada Direktur Utama PT. Pelabuhan Indonesia II (persero).
Sebelumnya, Deputi GM Hukum dan Pengendalian Internal IPC Pelindo, Mustafa Muhammad As’ad mengatakan ada aspek legal yang belum dipenuhi pihak yayasan. Dia beralasan, di kawasan tersebut terdapat dua yayasan yang saling klaim.
“Jadi informasi yang kami dapatkan di sana itu ada dua yayasan makam, ada dua pengelola makam. Jadi yang menjadi pertanyaannya sekarang dari dua itu siapa yang diakui?” tanya tanpa menyebutkan dua nama yayasan tersebut.
Berangkat dari pertanyaan inilah, hingga sekarang Pelindo belum juga membayar ganti rugi. Padahal, ketika wawancara, Suara Pemred turut menunjukkan surat putusan inkrah yang dikeluarkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN RI, Kantor Pertanahan Kabupaten Mempawah bernomor A1.02/61.02V/2019 perihal Revisi Validasi VI terhadap Danom 79, 165 dan 166 yang ditujukan kepada Direktur Utama PT. Pelabuhan Indonesia II (persero).
“Ada aspek legal yang belum terpenuhi, belum fix dan belum inkrah. Karena, kami (Pelindo) tidak ingin salah memberikan cost, walaupun itu adalah hak mereka,” katanya.
“Bisa jadi hanya salah satunya yang diakui teregistrasi di BPN dan lembaga hukum lainnya. Itu yang menuntut minta dibayar, tapi afiliasinya pada yang tidak diakui, atau bisa jadi sepakat dulu dan diberesin dulu, siapa yang punya alas hak,” tambahnya.
Mengenai putusan BPN Mempawah tersebut, hingga saat ini pihaknya belum mendapatkan salinan, sehingga tidak bisa mempelajari lebih lanjut. Sebelumnya, dia menjelaskan selalu berkomunikasi dengan BPN.
“Inikan kita serahkan kepada BPN yang mengurusnya, ya jelas kita mau ada kepastian proses pemindahan. Selama ini komunikasinya hanya melalui pihak BPN,” ungkapnya.
Perihal biaya ganti rugi, Pelindo khawatir ketika ganti rugi dibayar, uang tersebut tidak digunakan untuk pemindahan makam. Harus ada komitmen yang dibuat oleh pihak yayasan mengenai masalah ini dan dijamin oleh BPN dan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan (TP4D).
“Kira-kira BPN bisa menggaransi tidak akan ada masalah lebih lanjut, kita bayar. Jadi bagaimana komitmennya terhadap makam. Jadi ketika pembayaran itu sudah dilakukan bagaimana komitmen terhadap makam-makam ini,” ujarnya.
Padahal, di sisi lain, lokasi relokasi makam sudah ditetapkan.
“Ini pasti dibayar cuma masalahnya itu komitmen ketika ini sudah dibayar, kapan akan dipindahkan?” tanyanya lagi.
Menurutnya, pertanggungjawaban hal ini bukan di PT Pelindo, melainkan PT. Pelabuhan Pembangunan Indonesia (PPI). Perusahaan tersebut merupakan kepala perusahaan yang bertanggung jawab atas masalah ini.
Selain itu, dia malah mempertanyakan legalitas kepemilikan tanah yayasan. Surat Kepemilikan Tanah tersebut belum bisa jadi pegangan hukum. Namun dalam putusan BPN, surat itu diterima.
“Itu belum sah (SKT) dan berbahaya itu belum bisa menjadi pegangan hukum itu,” tutupnya.
Sumber: suarapemredkalbar.com